Filosofi Bapak Pendidikan Indonesia di Era Milenial
![]() |
Ki Hadjar Dewantara |
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sangat dibutuhkan dalam
menghadapi perubahan dan perkembangan dunia saat ini yang sangat cepat sehingga
akan sulit membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, terutama informasi
digital di era milenial. Peraturan Presiden (Perpres) nomor 87 Tahun 2017
tentang Penguatan Pendidikan Karakter menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo
menaruh perhatian besar pada PPK. 70 persen pendidikan dasar, yakni jenjang SD
dan SMP, harus bermuatan PPK. Walaupun pendidikan karakter sudah diterapkan
oleh sekolah – sekolah di seluruh Indonesia, apakah kualitas pendidikan kita
makin baik? Merata iya, tapi kualitas pendidikan kita masih jauh dibandingkan
negara berkembang lainnya. Benar, mungkin pendidikan tidak bisa dijadikan
perbandingan, tapi mari kita belajar dari apa yang dilakukan oleh negara maju.
Bukan untuk meniru cara mereka, tapi untuk memperbaiki pola belajar – mengajar
di negeri ini. Sudahkah guru, orang tua, dan lingkungan di sekitar kita support
terhadap apa yang diperjuangkan pemerintah untuk memperbaiki pendidikan? Yang
mereka tahu hanya berapa peringkat anaknya saat kenaikan kelas atau kelulusan.
Bukankah karakter tak melulu tentang
nilai akademis. Manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya.
Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara
seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan
menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Pendidikan yang
menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik
dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya
menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan
olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang
humanis atau manusiawi. Kita dapat teladani dan teruskan perjuangan bapak
pendidikan Indonesia.
Bapak Pendidikan Indonesia
“Ing Ngarsa Sun Tuladha;
Ing Madya Mbangun Karsa; Tut Wuri Handayani”, merupakan salah satu ajaran Ki
Hajar Dewantara yang begitu popular yakni guru itu harus bisa menempatkan diri
di setiap posisi dengan baik. Di depan, sewaktu memimpin (Ing Ngarsa Sun
Tuladha), mereka harus memberikan suri tauladan yang baik. Ketika di
tengah-tengah (Ing Madya Mbangun Karsa) dia harus bisa memompa semangat anak
didiknya, dan ketika di belakang/mengikuti (Tut Wuri Handayani) dia harus
menjadi motivator/pendorong semangat anak didiknya. Seolah hanya filosofi
trilogi kepemimpinan dari Ki Hajar Dewantara yang diingat oleh semua guru.
Padahal bapak Pendidikan Indonesia juga mengajarkan filosofi tentang “Belajar
Tiga Dinding”. Maksud dari ajaran tersebut, sebaiknya para murid di sekolah itu
belajar dalam ‘ruangan tiga dinding’. Tentu perkataan dari Ki Hajar Dewantara
ini tidak hanya diterjemahkan secara eksplisit semata. Makna dari tiga dinding
itu adalah, ruang kelas tersebut harus ada yang terbuka satu di mana hal ini
dimaksudkan agar para guru dan siswa bisa melihat pemandangan di luar kelas. Filosofi
ini ternyata begitu penting dan benar adanya. Masih banyak di luar sana yang
bangga ketika anaknya memperoleh nilai tinggi di semua mata pelajaran. Tapi
mengkesampingkan karakter anak, apa passion anak, dan mau difokuskan kemana
setelah lulus. Albert Einstein pernah bilang “ setiap anak adalah jenius, tapi jika kamu nilai
seekor ikan dari cara ia memanjat pohon, maka dia akan terlihat bodoh seumur
hidupnya”. Anak harus diberi ruang untuk memilih, dan itulah tugas orang tua
yang sesungguhnya, memunculkan karakter seorang anak yaitu mengarahkan kemana
minat anak.
Berani Beda Itu Baik
Harus berani
berbeda, karena apa yg kita pelajari di sekolah itu sama, mata pelajaran sama,
yang diajarkan sama, pengajarnya pun sama. Bisa jadi ilmu yang kita dan dia
punya juga sama, lalu bagaimana kita bersaing di dunia profesi jika inputnya
sama?
Misi ini
jelas sama dengan pakem bapak pendidikan Indonesia. Manusia diciptakan berbeda
– beda, bahkan tanaman yang ditanam secara bersamaan akan menumbuhkan bunga di
waktu yang berbeda. Umumnya pendidikan kita luput dari hal ini, di lingkungan
sekolah masih banyak yang berfikir bahwa beda berarti salah, salah artinya
nakal atau bodoh. Dan karena itu, kita tumbuh sebagai generasi – generasi yang
menghindari konflik. Konflik dalam artian pendidikan bukan pertikaian. Sampai
kapan masalah ini akan berlangsung, jika tidak protes terhadap kesalahan yang
kita lihat, kita tidak bisa berharap pada perubahan. Mulai lah berbeda agar apa
yang dilakukan selalu menarik dan diperhatikan, tidak perlu pengakuan, tapi itulah
dasar ilmu yang perlu diperjuangkan.
Pola asuh orang tua
Kebutuhan anak yang paling utama adalah
perhatian dan kasih sayang. Seorang anak yang dilahirkan dari rahim ibu secara langsung
itu memiliki kontak batin. Cara mendidik atau membesarkan anak sangat
dipengaruhi oleh pengalaman hidup dan kepribadian orang tua. Dan anak yang
dibesarkan oleh seorang pengasuh, akan lebih nurut kepada pengasuhnya dari pada
orang tua kandungnya. Era milenial sekarang ini banyak orang tua yang terlalu
sibuk dengan pekerjaannya, yang ada difikirannya kerja dapat bayak uang agar
anak bisa disekolahkan di sekolah favorit. Tapi tidak begitu, jangan pernah
berfikir bahwa kebahagiaan anak dapat dihitung secara matematis. Tumbuh kembang
anak ada di tangan orang tua, masa depan anak ada pada diri mereka, tergantung
orang tua mengarahkan, bukan baby sitter.
Bibit kebohongan itu ada,
kalau kita bohong terhadap anak kita, kelak dia akan merasa pernah dibohongi,
dan jika dia sadar telah dibohongi, bohong akan menjadi hal yang wajar, dan
merasa mungkin dia boleh bohong terhadap orang lain. Ini yang menciptakan bibit
– bibit kebohongan, hilang integritas, berada di lingkungan berbeda dan kita
tidak tahu mungkin saja bisa jadi koruptor. Bersikap demokratis lah terhadap
anak, anak
dalam keluarga yang bersifat demokratis akan mempunyai tanggung jawab yang
besar terutama dalam menyelesaikan tugas-tugas pelajaran di sekolah, mampu
berinisiatif dan kreatif serta mempunyai konsep diri yang positif yang akan
berpengaruh positif pula pada tindakan dalam lingkungannya. Ini memberikan
gambaran bahwa betapa pentingnya pola asuh orang tua untuk masa depan anaknya.
Guru Berpendidikan
Dalam perspektif ini,
bahwa tolak ukur keberhasilan seorang guru itu bukan ditentukan oleh
kepala sekolah maupun prestasi individu, tapi justru oleh murid – muridnya.
Keberhasilan guru utamanya tercermin pada perubahan positif yang
dialami oleh murid – muridnya. Sebagaimana belajar, dari tidak tahu
menjadi tahu, dari tahu menjadi mengerti, dari mengerti menjadi faham.
Begitulah prosesnya, sedari dini memang sudah harus di didik untuk berproses.
Kita kesampingkan dulu yang namanya kompetensi guru dengan segala pelatihan –
pelatihannya. Itu hanya kepentingan pribadi mereka, tidak lain hanya membuat
mereka lebih banyak meninggalkan kelas saat jam belajar – mengajar. Sudahkah
mutu guru menjadi lebih baik dengan segala program dan kurikulum yang ada? tentu
saja belum, karena mutu pendidikan ditentukan oleh kualitas guru. Yang lebih
penting adalah bagaimana seorang guru dekat dengan murid. Sehingga murid merasa
enjoy saat proses belajar,
buat murid minat dengan pelajaran. Dengan perasaan yang senang murid akan cepat
menyerap apa yang guru sampaikan, dengan begitu minat belajarnya semakin
tinggi. Guru adalah orang tua di lingkungan sekolah, penting bagi orang tua
untuk selalu menjalin komunikasi dengan guru. Perlu di catat bahwa apapun yang
dilakukan oleh guru adalah untuk kebaikan murid. Sebagai orang tua jangan
pernah batasi hal ini, jika dirasa kurang berkenan komunikasikan baik – baik.
Bukankah mendaftar di sekolah tertentu adalah pilihan orang tua? maka dari itu
mempercayakan anak kepada seorang guru juga merupakan pilihan orang tua. Guru
adalah pahlawan tanpa tanda jasa, sampai kapanpun kalimat tersebut tak kan
runtuh diterpa jaman. Dedikasi, semangat, perjuangannya mendidik tak bisa
terlukiskan, dengan semua yang telah dilakukan oleh seorang guru, apakah di
negeri ini guru sudah menjadi profesi terhormat?
Dari
penjabaran di atas merupakan keterkaitan yang dapat kita jadikan refleksi
terhadap dunia pendidikan di Indonesa. Guru
yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan
(relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan Orang tua. Maka penting pula
membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan;
menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani
masyarakat. Dalam kaitan peningkatan mutu kinerja mari bekerja sama secara
profesional. Sebagai orang tua
dan pendidik (guru) yang baik, kita telah punya pakem komplit yang telah di
cetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara. Ilmu itu dinamis, selalu berubah – ubah
seiring perkembangan jaman, jangan berhenti belajar, dimanapun, dan kepada
siapapun. Tepat di hari
pendidikan nasional ini kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah
memanusiakan manusia. Pendidikan hendaknya mampu melahirkan pribadi – pribadi
yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, minimal dapat
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.